Makalah Dasar-Dasar Konseling Lintas Budaya
BAB I
BIMBINGAN KONSELING DAN KEBUDAYAAN
Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan
bentuk pelayanan kemanusiaan, sebab BK hanya diberikan oleh dan untuk manusia.
Layanan BK bertujuan untuk membangun manusia yang utuh, sebagai makhluk
pribadi, sosial dan makhluk Tuhan ( Prayetno,1994). Manusia sebagai subjek dan
objek layanan BK adalah makhluk yang berbudaya, bahkan mereka pencipta, pemakai
dan pengembang budaya.
A.
Dinamika Masyarakat dan Transformasi
Kebudayaan
Undang-undang No.2 tahun 1989
pasal 1 menyebut bahwa bimbingan konseling salah satu bentuk pendidikan.
Mortensen dan Schemuller (1976) Tohari Musnamar (1986) Tijjan dkk.(1993)
menyatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dalam
sistem pendidikan .meskipun bimbingan konseling merupakan bagian yang integral
dalam pendidikan, dalam konteks layanan profesional, tidak semua usaha
pendidikan dapat di sebut bimbingan konseling.
Berbagai rumusan tentang pendidikan
secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan sebenarnya adalah proses
pembudayaan. Ali Saifullah (1982) menyatakan bahwa “pendidikan adalah gejala
kebudayaan yang mengandung arti bahwa pendidikan hanya diadakan dan
dilaksanakan olehmakhluk berbudaya”.
Dari uraian di atas dapat di kemukakan
hubungan antara bimbingan konseling dengan kebudayaan adalah bimbingan dan
konseling merupakan gejala kebudayaan yang diselenggarakan oleh manusia
(makhluk yang berbudaya).
B.
Kebudayaan Latar Konseling Lintas
Budaya
Yang di maksud dengan kebudayaan
bimbingan dan konseling (guidance and counseling culture) adalah gagasan
konsep, yang mendasari praksis bimbingan konseling. Kebudayaan BK merupakan
suatu gagasan,konsep,sseperti kegiatan/praktek bimbingan dan konseling yang
berkembang dalam masyarakat sebagai produk budaya.
Sebagai aspek dari keseluruhan
kebudayaan,maka kebudayaan BK mengandung dimensi-dimensi temporal dan sepasial.
Dimensi temporal artinya Kebudayan BK waktu, sedang dimensi sepesial artinya
kebudayaan BK dapat berbeda dari stu tempat atau wilayah dengan tempat
lain,tergantung dari kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat
kelompok budaya dalam suwaktu waktu,akan akan memiliki suatu budaya BK, yang
sering kali tidak sama.
C.
Bimbingan Konseling Kebudayaan
Berbagai rumusan pendidikan lama
menekankan pendidikan sebagai kegiatan mewariska nilai genarasi lama dengan
generasi baru,baik nilai inlektual, moral, sosila, estetika dan sebagainya,
yang kesemuaanya itu merupakan kebudayaan manusia. Meskipun pendidikan bukan semata
memiliki fungsi transformasi, tetapi juga memiliki fungsi kreasi atau dengan
istilah Ali Saigfullah (1983) menyebut bersifat reflektif dan progresif.
Jones, Staffler dan Stewert (1970),Muh.
Surya(1988) Prayitno dan Erman Amit(1994) Depdikbud(1994)menunjukan ada
beberapa unsur diantaranya adalah membantu orang yang di bimbing mengatasi
masalah, menyesuaikan diri, mengembangkan diri, sesuai dengan norma-norma yang
berlaku, merencana masa depan.
Sebagai bagian usaha pendidikan, maka
BK memiliki fungsi transfomasi dan kreasi kebudayaan.fungsi transformasi
terlihat dala pelayanan BK yang membantu subjek yang di bimbing dapat
mengatasi masalah,menyesuaikan diri, atau berperilaku sesuai dengan budaya(
nilai,norma,tata hubungan) yang ada dalam masyarakat.fungsi kreasi kebudayaan
terlihat dalam budaya BK yang membantu aktualisasi dan optimalisasi seluruh
potensi subjek bimbingan perencanaan masa depan.
BAB II
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
A.
DINAMIKA MASYARAKAT DAN TRANSFORMASI
KEBUDAYAAN
Muhtar Bukhori (2001) menyatakan ada
tiga hal yang penting yang perlu di perhatikan dalam pelayanan bimbingan dewasa
ini, yaitu bimbingan dalam teknik-teknik belajar, bimbingan untuk mengenali
kesempatan kerja dan perguruan tinggi, serta bimbingan transformasi sosio-kultural.
Melihat adanya dinamika yang terjadi
dalam masyarakat dan transformasi budaya tersebut, maka konseling lintas budaya
atau konseling multi budaya (counseling a cross culture) menjadi nyata
relevansi dan urgensinya untuk di terapkan dalam pelayanan bimbingan dan
konseling.
B.
LATAR BELAKANG KONSELING LINTAS BUDAYA
Berbagai peristiwa sejarah pembentukan
masyarakat atau negara (misalnya kolnial), berbagai bentuk dan alasaaaaaaaan
imigrasi, kemajuan teknologi komunikasi, menjadikan masyarakat harus hidup
dalam keragaman budaya ( multikultural). Kesadaran akan keragaman tersebut
semakin kuat dengan terbagunya masyarakat madani (civil society).
Adanya keragaman budaya merupakan
realitas hidup bersama yang tidak dapat di pungkiri. Setiap kebudayaan menurut
Kuncaraningrat (1985) mengandung tiga sistem yaitu.
1.
Sistem budaya (bidaya nilai)
2.
Sistem sosial
3.
Kebudayaan fisik
Selusuh unsur budaya akan meliputi
berbagai konsep dan asosiasi, sikap kepercayaan, harapan, pendapat, presepesi,
streotipe dan sebagainya.
Konsleing yang tidak mempertimbangkan
budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Dalam hal ini Sue
(1992:6) menyatakan “konseling telah di gunakan sebagai alat untuk menindas
(menekan) dan didesain untuk menanamkan nuilai-nilai budaya individulistik.
Tradisi konseling telah mengabaikan kelompok minoritas dan para wanita.
Konseling telah mnejadi alat untuk mempertahankan status quo”.
Dalam konseling ada dua komponen pokok
yang terlibat, yaitu klien dan konselor.Ivey dkk (1993:127) mengemukakan model
hubungan klien dan konselor yaitu:
Client
|
Counselor
|
Client culture /
Historical background
|
Conselor cultureal /
Historial background
|
Gambar 1. Model hubungan konselor dan
klien
Hubungan klien dan konselor dalam proses
konseling selalu di pengaruhi oleh budaya dan latar belakang sejarah klien dan
budaya dan latar belakang sejarah konselor.
Kebudayaan yang bersumber
dari teori yang digunakan
|
Konselor dengan latar
Belakang budaya
|
Klien dengan latar
Belakan budaya
|
Lingkungan kebudayaan
dimana konseling dilaksanakan
|
Budaya proses
konseling
|
Gambar 2. Sistem budaya yang terlibat
dalam konseling
Keseluruhan komponen tersebut menuju
proses konseling, termasuk merumuskan tujuan konseling yang di sepakati.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dikemukakan latar belakang perlunya konseling lintas budaya, yaitu:
1.
Adanya kecenderungan budaya global dan
transformasi budaya, diman kehidupan masyarakat semakin terdiri dari berbagai
budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
2.
Bahwa setiapbuadaya akan membentuk pola
kepribadian,pola bertingkah laku secara khusus, termasuk dalam proses
konseling.
3.
Adanya proses akulturasi atau
percampuran antara budaya.
4.
Adanya berbagai keterbatasan, hambatan
dalam praktek konseling yang selama ini dilakukan, terutama perdekatan
psikodinamik, behaviorioristik, eksistensihumanistik, yang kurang
mempertimbangkan aspek budaya.
5.
Adanya berbagai pendekatan konseling
yang bersumber dari nilai-nilai budaya asli masyarakat (indegineous value), dan
berkembang dalam praktik konseling di masyarakat.
C.
Pengertian Konseling Lintas Budaya
Persiden (1990),Ive dkk,(1993) menyebut
bahwa konseling lintas budaya merupakan “fourt force” atau kekuatan
keempat dalam gerakan konseling, yaitu setelah gerakan psikodinamik (freud,
Yung,Adler,From dkk),
Istilah konseling lintas budaya
merupakan panduan dari dua istilah yaitu konseling dalam lintas budaya. Secara
singkat konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam budaya
yang berbeda.
Ada beberapa elmen yang sama dalam
mendefinisikan koseling. Kesemamaan yang di maksud yang di maksud adalah :
1.
Konseling adalah hubungan peribadi
2.
Konseling adalah suatu proses
3.
Konseling di rancang untuk membantu
indifidu membuat keputusan dan memecahkan masalah
4.
Dan dalam konseling terlibat dua orang
atau lebih yang ada di dalamnya, yaitu konselor dan klien.
Ahli lain menyatakan bahwa konseling
lintas budaya adalah konseling yang diberikan kepada mereka yang sama budayanya
dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda, misal kaum homo
seksual, penyandang cacat, para orang tua, wanita dan sebagainya.
Definisi konseling yang lebih akhir menyatakan bimbingan konselig lintas budaya
terjadi apabila suatuproses konseling terdapat perbedaan-perbedaan budaya
antara konselor dengan klien.
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam
konseling itu hidup dan dan di bentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga
maupun masyarakat. Dalam hal ini Ivey dkk.(1995:5) mengemukakan “ masalah
–masalah individu dan keluarga seringkali bersumber dari faktor lingkungan atau
luar, seperti kemiskinan, ras, jenis kelamin, dan sebagainya.
Dengan uraian diatas dapat di kemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu
“suatu proses konseling yang melibatkan antara konselor san klien yang berbeda
budayanya,dan dilakukan dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam
konseling”.
BAB III
ASAS,PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING
LINTAS BUDAYA
Agar layanan konseling lintas budaya
efektifitas dan efisien sehingga berfungsi secara optimal, maka layanan
konseling lintsas budaya harus diselenggarakan berdasarkan suatu tumpuan
berfikir yang disebut asas layanan dan berpedoman pada prinsip-prinsip lainya,
yang merupakan kajian teori dan telah lapangan mengenai konseling lintas budaya
, serta memahami berbagai hambatan-hambatan dalam layanan konseling lintas
budaya.
A.
Asas-asas Konseling Lintas Budaya
Layanan konseling lintas budaya
merupakan layanan profesional, maka harus dilaksanakan dengan mengikuti
kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan, kondisi
masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, dan tuntutan optimal proses
penyelenggaraan lainya. Kaidah-kaidah tersebut disebut asas-asas layanan.
Terdapat sejumlah asas l;ayanan
bimbingan dan konseling, yaitu:
1.
Asas kerahasiaan
2.
Asas kesukarelaan
3.
Asas keterbukaan
4.
Asas kegiatan
5.
Asas kemandirian
6.
Asas kekinian
7.
Asas keterpaduan
8.
Asas kedinamisan
9.
Asas kenormatifan
10.
Asas keahlian
11.
Asas alih tangan
B.
Prinsip-Prinsip Konseling Lintas Budaya
Sebgai gerakan keempat dalam konseling
yang relatif masih baru, maka prinsip-prinsip konseling lintas budaya banyak
yang bersifat hipotesis, berupa pemikiran, dan masih terus berkembang.
Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para prfaktisi,peneliti, dan
ahli-ahli teori tentang prinsip-prinsip konseliing lintas budaya adalah :
1)
Teknik atau aktifitas para konselor
semakin berubah,
2)
Permasalahan dalam proses konseling
akan cenderung meningkat,
3)
Permasalahan atau problem,
4)
Norma, harapan prilaku setress memiliki
keragaman antara kebudayaan.
5)
Konsep-konsep konseling dan pola-pola
membantuperkaitan dengan suatu kebudayaan.
C.
Permasalahan Konseling Lintas
Budaya
Prayetno dan Erman Amati (1994)
mengutip Pedersen dkk, yang mengetengahkan yang lima macam sumber hambatan yang
mungkin timbul dalam komunikasi non ferbal, stereotip, kecenderungan menilai,
dan kecemasan. Presepei atau pandangan yang terpola (stereotipe)
menyebabkan orang memandang orang lain menurut kemauanya diri sendiri atau
berdasar asumsi-asumsi yang sudah tertanam pada dirinya. Kecenderungan menilai
seringkali didasarkan pada setandar subyektif. Kecemasan sering muncul karena
seseorang harus berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budayanya.
Sue (1981:1) mencatat tiga hal yang
menjadi sumber hambata atau kegagalan konseling lintas budaya, yaitu :
1.
Program pendidikan dan latihan konselor
2.
Literatur koneling dan kesehatan mental
3.
Proses dan praktek
Di samping aspek-aspek diatas,Sue
(1981:28) juga mencatat tiga hambatan konseling linyas budaya, yaitu:
1.
Hambatan bahasa
2.
Hambatan kelas, setatus antara konselor
dan klien
3.
Hambatan perbedaa nilai budaya antara
konselor dengan klien
1.
Isu etic dan emic
Pendekatan etic melibatkan penelitian yang
berasal dari budaya tertentu. Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data
penelitian konseling lintas budaya harus dilihat dari sudut pandang budaya
subyek yang diteliti,atau budaya asli dan uniks.
Dikotimoi etic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan suatu
kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya klien. Isu
ini sering menjadi perdebatan karena pada akhirnya berkaitan dengan hubungan
konselor-klien.
2.
Isu hubungan konseling-klien versus
teknik-teknik konseling
Para ahli konseling cenderung
memberikan pernyataan yang sifatnya umum sebagai berikut : konselor perlu
penyiapan diri untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan latar
budaya klien, menggunakan tehnik-tehnik acceptance dan attending sesuai dengan
latar budaya klien, serta terbuka terhadap semua kemungkinanuntuk melakukan
interfensi langsung terhadap kehidupan klien. Dengan demikian konseling lintas
budaya lebih merupakan pengadaptasian tehnik-tehnik yang dipakai konselor sesuai
dengan latar belakang budaya klien.
3.
Isu hubungan bilateral antara
konselor-klien
Hubungan bilateral yang dimaksud adalah
hubungan hubungak konselor denagn klien yang mengacu pada tingkat proses
belajar dalam konseling yang mempengaruhi dengan konselor maupun klien.
4.
Isu dilema autoplastic-alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pad
bagaimana mengakomodasikan seseorang pada suatu latar dan setruktur sosial yang
bersifat given( jadi). Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan relatif eksternal
yang sesuai dengan tujuan proses konseling, karena konsep-konsep tersebut
berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor dapat membantu klien
beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor dapat
mendorong terbentuknay realita yang sama dengan realiatas yang ada pada diri
konselor.
Beberapa sumber konflik dan salah
interpretasi dalam konseling sering terjadi dalam konseling lintas budaya,
mengingat konselor umumnya masih mengacu pada teori konseling yang bersumber
dari Amerika-Eropa. Sumber konflik da salah iterpretasi tersebut antara lain :
1.
Adapun upaya menyatukan klien kebudaya
klien ke budaya yang dominan yang dimiliki konselor.
2.
Berpusat pada individu. Padahal budaya
merupakan identitas seseorang yang tidak dapat dipisahkan dari kelompoknya.
3.
Konselor menghindari agar klien mau
mengekspresikan perasaan melalui bahasa dan tingkah laku, seperti assertifve,
punya pendirian tidak pasif.
4.
Pengguna insight atau pencerahan dalam
konseling didasarkan pada asumsi bahwa klien mencapai insight pada dirinya
sendiri akan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
5.
Sebagian besar konseling menginginkan
keterbukaan dan kekariban yaitu klien yang mau terbuka dan berbicara tentang
aspek-asoek kehidupan dirinya.
6.
Pola komunikas dalam konseling umumnya
menhendaki komunikasi yang bergerak dari klien ke konselor, atau klien lebih
aktif.
7.
Hambatan bahasa. Di Ameriak umunya di
guinakan Inggris bahasa yang baku. Oleh karena itu kelompok minoritas yang
belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, dalam dalam konseling akan
mengalami hambatan.
BAB IV
DIMENSI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS
BUDAYA
A.
Sistem Budaya dan Bimbingan Konseling
1.
Sistem kebudayaan
a.
Sistem kebudayaan atau nilai budaya
Berisi kompleksi ide-ide, gagasan,
konsep dan pikiran manusia yang menjadi sumber inspirasi dan orientasi dalam
menghadapi kehidupan. Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai
jiwa dari masyarakat tertentu. Gagasan ini berkait satu sama lain menjadi
suatub sistem yang berpola. Sistem budaya ini mengatur dan memberi arah kepada
sekelompok masyarakat dalam menghadaipimasalah-masalah kehidupan.nilai budaya
ini menyangkut pandangan tentang kebenaran, kebaikan , keindahan,kenyataan dan
sebagainya. Dalam hal ini kluckohn( kuncaradiningrat,1990;Sulaiman)
mengemukakan empat orientasi nilai budayayaitu :
1.
Hakikat hidup manusia.
2.
Hakikat waktu
3.
Hakikat karya
4.
Hakikat hubungan semua manusia
5.
Hakikat hubungan manusia dan alam
b.
Sistem sosial
Yaitu tidak berpola yang terdiri dari
pola aktifitas–aktifitas manusia yang saling berinteraksi (berhubungan) serta
bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu, yang menetap dalam bentuk adat tata
perilaku.
c.
Kebudayaan Fisisk
Merupakan hasil karya manusia yang
bersifat fisik, konkrit, dapat berbentuk benda-benda yang dapat diraba.
2.
Dimensi-dimensi bimbingan dan konseling
Morril, Oetting,dan Hurs (dalam Ivey,
Lyn Simek,1980) melihat BK dalam tiga dimensi yang di gambarkan dalam suatu
kubus, yaitu :
a.
Target of intervention
(individual,primary group,associational group,dan community group)
b.
Purpos of intervention
(remidiation,perevention, dan develmedia)
c.
Method of intervention (direct service,
consulation/training, media)
Tohari Musnamar (1986) mengetengahkan
sepuluh komponen dalam sisitem BK, yaitu:
a.
Sistem konsep dasar
b.
Sistem pembimbingan
c.
Subyek-subyek yang dibimbing
d.
Subsistem metode dan tehnik
e.
Subsistem strategi
f.
Subsistemadministrasi dan organisasi
g.
Subsistem pelayanan
h.
Subsistem saran dan biaya
i.
Subsistem lingkungan
j.
Subsistem usaha pengembangan
B.
Dimensi Budaya dalam Konseling
Inti pelayanan bimbingan dan konseling
adalah “komunikasi” antara konselor dan klien. Dalam komunikasi tersebut
melibatkan seluruh kepribadian klien dan konselor, dimana kepribadian tersebut
merupakan produk dari budayanya.
1.
Budaya akan memberikan warna dan arah
bagi subsistem konsep dasar BK, yang mencakup landasan filosofik,tujuan
konseling,prinsip dan asas BK,serta kode etik BK.
2.
Budaya memeberikan warna terhadap
subsistem pembimbingan baik yang berkaitan dengan kualifikasi pendidikan dan
latihan, penempatan bimbingan.
3.
Budaya akan memberikan warna bagi
subsistem subyek yang dibimbing.
4.
Budaya juga menentukan dan mewarnai
metode memahami individu-individu, dan metode/tehnik bimbingan konseling.
5.
Budaya akan memberikan arah bagi
program-program BK.
6.
Budaya menentukan sistem administrasi
dan organisasi BK.
7.
Budaya juga menentukan sistem
sarana,prasaran dan biaya.
8.
Budaya menentukan sistem proses
layanan.
9.
Budaya mewarnai subsistem lingkungan
konseling.
10.
Budaya juga mempengaruhi dan mewarnai
sistem pengembangan bimbingan dan konseling.
Landrine (1992)membedakan adanya reffential
self and indexial self,
1.
Reffential self adfalah self atau diri yang
sendiri,mandiri asli,kreatif dapat mengontrol perilaku, menentukan diri,
pikira,self yang terbungkus dalam budaya barat.
2.
Indexial self yaitu self atau diri
pribadi yang kurang mandiri, kurang dapat mengontrol diri, jiwanya lemah dan
kering, kirang kreatif, mudah dipengaruhi.
Hofstede dari Belanda (dalam dragum 1996,Bery
dkk,1999) mengidentifikasikan empat faktor dimensi pola pribadi atau pola hidup
manusia, yaitu:
1.
Individualisme menunjukan kecondongan
seseorang terhadap diri sendiri, yang memiliki kesungguhan, berusaha atau mampu
mencapai tujuan, merealisasikan hidupnya sendiri.
2.
Power distance merupakan konsep yang
menunjukan ketidaksamaan atau jurang pemisah ( suatu tatanan berjinjang) antara
atasan dan bawahan dalam suatu organisasi, atau antara perasaan superior dan
interior.
3.
Uncerainty avoidance atau penghindaran
akan ketidakmenentuan merupakan konsep yang menunjukan tingkat kebutuhan
seseorang akan setruktur,aturan, norma, petunjuk atau informasi untuk
mengantisipasi kehidupan yang kompleks, yang sulit diprediksi.
4.
Masculinity dan feminity, menunjukan
pola kepribadian atau kebudayaan yang membedakan peran antara laki-lak dan
permpuan.
1.
Variabel konselor
Konselor juga membawa karakteristik
kompetensi profesional sebagai konselor, seperti budaya profesi yang mencakup
asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap-sikap profesi, keterampilan-keterampilan
profesi dan sebagainya.
2.
Variabel klien
Sebagaimana konselor klien juga membawa
seperangkat karakteristik, baik persoanl-sosio-kultural dan pengalaman hidup.
Beberapa aspek personal-soso-kultural yaitu: aspek biologis (jender, ras,
prefensi seksual)budaya (asumsi-asumsi, keyakinan, nilai sikap) gaya
kongninitif ( proses penerimaan, informasi berfikir,stereotype),bakat,
kecakapan, minat, harapan, perilaku.
3.
Veriabel proses konseling
Dalam proses konseling terlibat dua
fihak yaitu klien dan konselor, yang saling beriteraksi untuk mencapai suatu
tujuan.
BAB V
KONSELOR DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
A.
Pendahuluan
Ketidak efektifan konseling lintas
budaya dapat disebabkan oleh faktor konselor , yaitu konselor yang tidak
memperoleh pendidikan/latihan dan pengalaman tentang konseling lintas budaya
(Ivey,1981) konseling yang terkukung dalam budayanya sendiri (cultural
encapsulation) dan yakin tidak memiliki kesadaran/kepekaan budaya.
B.
Karakteristik Umum
Karakteristik konselor dalam konseling
lintas budaya secara umum sama dengan konselor pada umumnya, yang harus
memiliki kompetensi profesional dan profesional.
1.
Kerdibilitas konselor
Kerdibility mencakup arah set problem
solving, consistency dan identifikation, yang diartikan sebagai seperangkat
karakteristik yang menjadi individual yang layak untuk dipercaya, mampu,
reliabel dan dihormati. Oleh karena itu dalam kerdibilitasi terkandung dua hal
yaitu persepasi dan sifat-sifat komunikator.
Dalam kerdibilitasi terkandung
dua unsur penting yaitu keahlian (expertnss) dan sifat yang dapat dipercaya
(trutstworthiness).
2.
Daya tari konselor (attractiveness)
Atraksi merupakan kesukaan atau sikap
positif dan dan daya tarik seseorang.
a.
Faktor personal yang mempengaruhi daya
tarik konselor
1)
Kesamaan karakteristik personal
2)
Tekanan emosi
3)
Hargadiri yang rendah
4)
Isolasi sosial
b.
Faktor situalisonal
Banyak faktor situasional yang
mempengaruhi atrasiseperty:
a)
Daya tarik fisik
b)
Ganjaran yaitu cenderung menyenangi
terhadap orang yang memberikan ganjaran, pujian,bantuan, dukungan atau hal-hal
yang menyenangkan.
c)
Familiarity, yaitu orang yang cenderung
menyenangi terhadap orang yang sudah dikenal.
d)
Kedekatan (proximinity)
e)
Kemampuan (competence)
3.
Kekuasaan (power)
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan
ketundukan ( compliance). Ketundukan tersebut timbul karena adanya interaksi antara
konselor dan klien.
Kekuasaan tersebut dapat bersumber dari
:
a.
Kekuasaan koersif yaitu kekuasaan
komunikator mendatangkan atau memberikan ganjaran atau hukuman.
b.
Kekuasaan keahlian
c.
Kekuasaan informasional
d.
Kekuasaan rujukan
e.
Kekuasaan legal
C.
Karakteristik konselor secara khusus
Bagi konselor yang memberikan layanan
konseling lintas budaya, kualifikasi tersebut terkait dengan beragamnya budaya
klienyang dilayani,sehingga kualifikasi konselor sangat luas dan mungkin bebeda
antara satu klien dengan klien lain.
1.
Kualitas personal/pribadi konselor
Association For Counseling Education
and supervision tahun 1964 yang di kutip dasar kepribadian seorang konselor
yaitu :
a.
Percaya pada setiap orang
b.
Menghayati nilai-nilai kemanusiaan
setiap individua
c.
Peka terhadap dunia sekelilingnya
d.
Sikap keterbukaan
e.
Memahami diri sendiri
f.
Menghayati profesionalitas
2.
Kompetensi profesional konselor lintas
budaya
Konselor yang memberikan pelayanan
konseling lintas budaya, harus memiliki kopetensi profesional.
a.
Tujuan agar konselor sadar akan
nilai-nilai budaya dan keyakinan
1)
Sikap-sikap dan keyakinan;
a)
Peka terhadap budaya yang di bawa dan
sadar akan pengaruh terhadap pemikiran, perasaan dan perilakunya.
b)
Mengenal berbagai keterbatasan tentang
kecakapan,kemampuan yang dimiliki dengan dirinya.
c)
Menyukai orang yang berbeda ras, etnis
budaya dan keyakinan dengan dirinya.
2)
Memiliki pengetahuan yang mencakup
a)
Menyadari betapa besar pengaruh latar
belakang konsep ukuran/kriteria”normalitas” setiap budaya dalam proses
konseling.
b)
Memahami konsep-konsep tentang rasisme,
didskriminasi, stereotype.
c)
Memahami bagaimana gaya yang dimiliki
setiap klien dari berbagai latar belakang budaya.
3)
Setrategi intervensi
a)
Mencari pengalaman melalui pendidikan/
latihan untuk pendidikan lanjutan, mencari konsultasi dan refferal ketika di
perlukan.
b)
Berusaha untuk dapat memahami diri
sendiri sebagai ras/budaya dan secara aktif berusaha membangun masyarakat non
rasial.
b.
Tujuan konselor menyadari akan
pandangan hidup klien
1)
Sikap-sikap dan keyakinan
Menyadari akan reaksi emosional dan
stereotype yang negatif dalam hubungan dengan kelompok lain.
2)
Pengetahuan
a)
Memiliki pengetahuan yang khusus
tentang pandngan hidup
b)
Memahami betapa masalah-masalah budaya
terkait dengan gaya personal seseorang
c)
Familier dengan pengaruh sosial politik
3)
Strategi intervensi
a)
Mengusai akan hasil riset dan temuan
teori mutakhir tentang budaya kelompok yang berbeda dengan budaya sendiri.
b)
Mencari pengalaman pendidikan yang
relevan
c)
Secara aktif terlibat dalam kgiatan
kelompok minoritas, bersahabat, aktif secara sosial politik, berlatih membantu
kelopok minoritas.
c.
Tujuan menguasai strategi yang tepat
secara budaya
1)
Sikap-sikap dan keyakinan
a)
Respek terhadap agama
b)
Respek terhadap praktek bantuan pada
penduduk asli, dengan jaringan kerja bantuan pada kelompok minoritas.
c)
Memandang mereka yang berbahasa lainb
sabagai aset, bukan hambatan.
2)
Pengetahuan
a)
Memahami tradisi konseling masyarakat
Eropa yang mengkin berbeda dengan nilai budaya tradisi lain.
b)
Menyadari hambatan kelembagaan dan
biasa dalam instrumensi/pengukuran dan tehnik konseling.
c)
Menyadari pengaruh keluarga dan
masyarakat dalamproses konselig.
d)
Memahami masalah-masalah rasisme,
penindasan dan sebagainya.
3)
Strategi intervensi
a)
Dapat menyampaikan pesan verbal dan non
verbal akurat dan tepat.
b)
Dapat menentukan apakah problem klien
sebagai hasil dari faktor luar, seperti rasisme dan bias-bias lainya.
c)
Menggunakan lembaga antuan untuk
membantu klien.
d)
Dapat bekerja dengan pihak pembantu
tradisional (dukun dll) dan para tokoh sepiritual.
e)
Merujuk pada sumber/ konselor yang
lebih tepat jika konselor tidak bisa memahami bahasa klien dengan baik.
f)
Mengadakan pelatihan/pendidikan untuk
memberantas penindasan.
g)
Mendidik klien untuk mengembangkan
pribadi klien dan pendidik norma hukum yang berlaku.
3.
Ketrampilan khusus konselor
Beberapa jenis ketrampilan yang harus
dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya dan selalu diaktifkan dengan
konteks budaya antara lain:
a.
Ketrampilan menyiapkan tata formasi
atau menyiapkan konteks seperti menyiapkan tempat konseling,suasana
ruangan,dekorasi dan sebagainya.
b.
Keterampilan memperhatikan (attending
skills)
c.
Ketrampilan mengeksplorasikan masalah.
d.
Keterampilan dalam menngembangkan
inisiatif ( merumuskan tujuan,mengembangkan program).
e.
Ketrampilan dalam mempengaruhi atau
pemilihan strategi, seperti : ketrampilan menginterpretasi, ketrampilan memilih
setrategi bantuan yang tepat, ketrampilan memberi pengaruh, ketrampilan
memberkan dukungan (reassurance), ketrampilan memberikan advisi atau informasi,
ketrampilan memberikan umpan balik, ketrampilan logical consequences, ketrampilan
influencing summary dan sebagainya.
Berbagai keterampilan tersebut akan
dikomunikasikan secara berbeda pada klien yang berbeda budayanya.
No comments